PT BESTPROFIT - Pemerintah dinilai harus segera menjelaskan kepada khalayak terkait dengan posisi utang yang nilainya sudah mencapai triliunan rupiah.
Utang pemerintah sepanjang 2017 nyaris Rp 4.000 triliun, tepatnya Rp 3.938,7 triliun atau 29,2% terhadap produk domestik bruto (PDB). BESTPROFIT
Ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengukur posisi utang pemerintah saat ini hingga dianggap sudah 'lampu kuning'. BEST PROFIT
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebut ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengukur seberapa aman posisi utang pemerintah.
Pertama, adalah perbandingan antara penerimaan negara dari sektor pajak terhadap besaran utang yang saat ini tercatat.
Menurut data yang dimilikinya, di tahun tahun 2012, rasio pembayaran bunga dan cicilan pokok utang terhadap penerimaan pajak adalah sebesar 26%. Sementara di tahun 2016 adalah 32%.
"Artinya 32% dari penerimaan pajak RI sudah habis untuk bayar cicilan bunga dan pokok utang," sambung dia.
Posisi tersebut bisa dibilang mengkhawatirkan mengingat pemerintah ada komponen belanja negara lainnya yang harus dibayar dari penerimaan pajak tersebut seperti belanja pegawai negeri sipil (PNS), biaya pembangunan infrastruktur hingga subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat.
Selain rasio pembayaran cicilan bungan dan pokok pinjaman terhadap pajak, Bhima juga menyoroti masalah pertumbuhan utang dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi RI.
Indikator lain yang juga bisa dijadikan tolak ukur aman tidaknya utang pemerintah saat ini adalah tingkat pertumbuhan ekonomi. Bila dibandingkan dengan pertumbuhan utang baru yang mencapai 14%, pertumbuhan ekonomi RI hanya berada di kisaran 5%.
"Artinya ada yang tidak beres dengan pengelolaan kita. Karena, utang yang ditarik ternyata tak bisa mendongkrak produktivitas yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi," kata Bhima.
Bhima juga menambahkan, rasio utang RI yang 29,2% juga tak bisa dibandingkan dengan rasio utang pemerintah Jepang yang 200% lebih apa lagi rasio utang AS.
Menurut dia surat utang Jepang hampir 80% dipegang atau dimiliki oleb masyarakatnya sendiri. Sehingga, mau sebesar apapun rasionya menjadi tidak masalah. Sebab, kalau terjadi krisis surat utang tersebut tinggal dicairkan dan uangnya digunakan untuk per aikan ekonominya kembali.
"Kalau Indonesia, utang itu sebagian besar ke asing. Jadi wajar kalau terjadi gejolak seperti the Fed kemarin, ada risiko tersendiri bagi Indonesia yang bikin nilai tukarnya (rupiah terhadap dolar AS) mudah terpengaruh," kata dia.
Pelemahan rupiah bisa memberikan risiko fiskal. Karena, utang yang dalam bentuk dolar bisa membuat nilai utang bila dirupiahkan akan membengkak saat terjadi gejolak yang tentu saja bisa meningkatkan risiko gagal bayar utang pemerintah.
Dengan acuan tersebut, Bhima menyarankan agar pemerintah mulai menaruh perhatian lebih terhadap kondisi utang saat ini.
Rasio utang pemerintah 29,2% dianggap masih aman bila mengacu pada UU 17/2013 tentang Keuangan Negara memperbolehkan rasio utang hingga menyentuh 60% dari PDB.
Namun, acuan tersebut seperti kurang relevan bila diterapkan di Indonesia.
"Karena menurut kajian terbaru international monetary fund (IMF), rasio utang 60% terhadap PDB lebih relevan bila diterapkan pada negara maju," kata dia.
Sementara, mengacu kajian yang sama, kata Bhima, acuan batas rasio utang bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah 40% terhadap PDB.
"Jadi kalau Indonesia masih pakai acuan 60% itu sepertinya enggak nyambung. Nggak nyambung ekonomi RI disamakan dengan ekonomi negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang yang industrinya sudah sangat maju," jelas dia.
Utang yang dicatatkan pemerintah sepanjang tahun 2017 telah mencapai Rp 3.938,7 triliun atau hampir Rp 4.000 triliun yang setara dengan 29,2% terhadap produk domestik bruto (PDB). Bila dibandingkan dengan rasio utang di era Presiden Soeharto, rasio utang saat ini terlihat lebih terkendali.
Tapi jangan senang dulu. Karena pada kenyatannya, kondisi utang di era Presiden Soeharto dan Jokowi sangat jauh berbeda.
"Kalau zaman Pak Harto, rasio utangnya bisa bengkak terhadap PDB, karena saat itu Indonesia baru mendapat pinjaman dari IMF pasca krisis. Jadi waktu itu utang kita digunakan untuk pemulihan krisis," kata Bhima
Saat ini, utang tersebut telah lunas sehingga bisa dikatakan pemerintah sudah terbebas dari utang 'warisan' dari era Presiden Soeharto.
Justru besarnya utang yang ada saat ini kebanyakan merupakan utang baru.
"Zamannya Paka SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Pak Jokowi itu kan sudah nggak terlalu terbebani dengan utang warisannya Pak Harto. Justru ini kan utang baru yang untuk subsidi dan kalau di zaman Pak Jokowi itu untuk bangun infrastruktur," papar dia.
Menurut Bhima, beda masa, beda juga risiko utangnya terhadap perekonomian negara. Utang saat ini, kata Bhima, menyimpan risiko yang lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Kenapa?
"Karena saat ini rasio pembayaran bunga dan cicilan cicilan pokok utang terhadap penerimaan pajak sudah terlalu besar," kata dia.
Pada tahun 2012, rasio pembayaran bunga dan cicilan cicilan pokok utang terhadap penerimaan pajak RI masih sebesar 26%, namun di 2016 sudah menyentuh 32%.
"Artinya 32% penerimaan pajak sudah habis untuk bayar cicilan bunga dan pokok utang," sebut Bhima.
Posisi tersebut bisa dibilang mengkhawatirkan mengingat ada komponen belanja negara lainnya yang harus dibayar dari penerimaan pajak tersebut seperti belanja pegawai negeri sipil (PNS), biaya pembangunan infrastruktur hingga subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat.
Bila porsi penerimaan pajak untuk bayar utang dinaikkan, ada risiko pos belanja lainnya akan kekurangan anggaran. Risiko lainnya adalah pemerintah harus menarik utang baru untuk bayar utang yang sudah ada alias gali lubang tutup lubang.
Untuk itu, menurut Bhima, pemerintah butuh bekerja lebih keras mengelola utang yang sudah ada agar bisa meningkatkan produktivitas dalam negeri dengan harapan ada kepastian pemerintah bisa melunasi utangnya.
Sumber : Detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar