BEST PROFIT - Pemerintah sudah harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium. Hal itu demi memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Sayang, kenaikan BBM yang seharusnya berlaku per pukul 18.00, Rabu (10/10), dibatalkan.
Jika tidak dibatalkan, harga premium naik sekitar 7%. Kenaikan ini dilakukan untuk mengimbangi kenaikan harga minyak dunia dan penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah. BESTPROFIT
Harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax dengan premium semakin jomplang. Jika pemerintah tetap menunda kenaikan harga premium bisa membuat impor minyak makin bengkak. PT BESTPROFIT
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menjelaskan impor minyak bakal meningkat karena orang mulai beralih ke premium yang jauh lebih murah ketimbang Pertamax.
"Memang karena gap-nya sudah besar dan harga yang non subsidi sudah naik, volume permintaan dari yang subsidi meningkat, yang premium bahan bakar subsidi ya," katanya kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Jika impor meningkat, seiring bertambahnya konsumsi premium, kondisi defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) bakal makin parah. Beban Pertamina yang menanggung selisih harga jual juga makin bertambah.
Ujung-ujungnya itu bisa menjadi sentimen negatif terhadap nilai tukar rupiah karena efek bola salju alias snowball effect yang diakibatkan penundaan kenaikan harga BBM.
"Jadi lingkaran setan di mana karena sentimen tersebut rupiah juga cenderung melemah," sebutnya.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menjelaskan, impor minyak adalah penyumbang terbesar defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di Indonesia.
Kenaikan harga premium bisa jadi obat mengatasi itu karena bakal menekan konsumsi di masyarakat. Jika konsumsi bisa ditekan maka impor akan berkurang.
"Dari sisi volumenya kita harapkan ada perubahan. Kalau misalnya harga naik kan berarti juga ada perlambatan konsumsi yang kita harapkan," sebutnya.
Selain itu, jika pemerintah menaikkan harga premium bakal memberikan sentimen positif bagi pelaku pasar. Hal itu karena pemerintah dinilai konsen terhadap masalah CAD yang tidak bagus buat perekonomian Indonesia.
Apabila pelaku pasar menyambut baik langkah tersebut, diharapkan arus modal yang keluar dari Indonesia bisa ditahan. Modal yang tertahan di dalam negeri juga berpengaruh terhadap membaiknya CAD.
"Yang salah satunya yang kita harapkan ada sentimen positif ya. Jadi paling tidak aliran modal keluar bisa dikurangi," tambahnya.
VP Economist Permata Bank Josua Pardede menilai, kemungkinan pemerintah baru akan menaikkan harga premium pada tahun 2019. Hal itu dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat saat ini.
"Saya pikir juga pertimbangannya kenapa tahun depan karena kalau lihat APBN 2018 pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat," katanya kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Selain daya beli, dia menilai kesiapan PT Pertamina (Persero) juga jadi pertimbangan pemerintah menunda kenaikan harga premium.
"Tapi mungkin saja kalau tahun depan daya belinya cenderung bisa terpenuhi dari masyarakat, tentunya saya pikir akan ada peluang juga untuk menaikkan harga BBM premium," sambungnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan juga menganggap pemerintah tidak mau ambil risiko secara politik bila menaikkan premium tahun ini. Hal itu mengingat Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal maju lagi di Pilpres 2019.
"Secara keharusan sebenarnya memang sudah tepat ya untuk menaikkan (harga premium), cuma bicara secara political sekarang bukan waktu yang tepat lah, karena ini menyangkut kondisi politik kita ke depan. Apalagi Pak Jokowi masih maju lagi," tambahnya.
Sumber : Detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar