PT BESTPROFIT - Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) menggerus nilai tukar rupiah jauh lebih buruk ketimbang mata uang negara tetangga Malaysia sepanjang tahun ini. Namun, Indonesia dinilai lebih unggul dari Malaysia dari sisi kerentanan eksternal.
Dalam laporan berjudul "Sovereigns - Asia Pacific: Currency depreciation will weigh on sovereigns with high external funding needs", Moody's menilai tingkat depresiasi mata uang di Kawasan Asia Pasifk tahun ini lebih mendingan ketimbang di era taper tantrum pada 2013. BESTPROFIT
Taper tantrum adalah anjloknya mata uang negara-negera berkembang akibat kenaikan mendadak imbal hasil surat utang pemerintah AS, setelah bank sentral negara adidaya itu menghentikan program pembelian obligasi AS dalam kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing). BEST PROFIT
"Secara umum, sistem keuangan saat ini lebih kuat dibandingkan dengan era taper tantrum, terlihat dari kebijakan makroprudensial seperti kewajiban lindung nilai [hedging] di Indonesia dan kebijakan Malaysia memperkuat pasar forex di luar negeri," tutur Anushka Shah, Wakil Direktur Utama dan Analis Senior Moody's.
Indonesia berada di tingkat ketiga sebagai negara dalam riset Moody's yang membukukan depresiasi kurs terburuk sepanjang tahun berjalan, yakni sebesar 4,8%. India dan Filipina berada di posisi pertama dan kedua, masing-masing dengan koreksi kurs 7,2% dan 5,2%.
Sebaliknya, Maladewa dan China membukukan penguatan kurs masing-masing sebesar 2% dan 1,6%. Negara tetangga Malaysia dan Thailand berada di urutan ketiga dengan penguatan kurs sebesar 0,9%.
"Di Indonesia dan Filipina, tekanan kurs akan memperburuk matriks kemampuan berutang yang saat ini sudah rendah. Jika dikaitkan dengan arus modal keluar, kondisi pembiayaan yang mengetat akan memiliki dampak lebih luas terhadap neraca pembayaran mereka," ujar Shah.
Hanya saja, menurut catatan Moody's, indikator kerentanan terhadap risiko eksternal (external vulnerability indicator/ EVI) Indonesia jauh lebih baik yakni sebesar 51,3% pada tahun ini. Sebagai perbandingan, indikator kerentanan Malaysia terhadap risiko eksternal mencapai 145,6% pada 2018.
Di tengah volatilitas pasar keuangan, Moody's menilai kebanyakan emerging market utama di Asia Pasifik telah mengumpulkan penyangga cadangan devisa yang kuat, sehingga memberikan ruang kebijakan lebih luas.
"Negara dengan defisit transaksi berjalan yang besar terhitung rentan terhadap tekanan tambahan dalam pengalihan risiko, yang berbentuk kenaikan arus modal keluar yang bisa berujung pada posisi cadangan devisa lebih rendah," ujar Moody's.
Moody's mengingatkan Indonesia dan Filipina yang memiliki utang asing besar (masing-masing sebesar 40% dan 37% dari total utang 2017) terkait risiko depresiasi kurs lanjutan dan kenaikan yield yang bisa menggerus kemampuan berutang. Efek lanjutan itu juga bisa menekan rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara atau terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sumber : Detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar